RESENSI NOVEL AKU: CHAIRIL ANWAR
Judul Buku : AKU: berdasarkan perjalanan hidup dan karya Chairil
Anwar
Penulis : Sjuman Djaya
Penerbit : PT Metafor Intermedia Indonesia
Cetakan : II, 2003
Tebal : xii +155 hlm
Siapa yang tak kenal dia. Binatang jalang dari kumpulannya yang terbuang. Sempat terpinggirkan oleh zaman Jepang. Perang yang terus berlalu lalang tidak membuatnya gentar ataupun takut. Sosok penyair bohemian yang rindu akan kebebasan, sempat merdeka meski belenggu penjajahan mengangkang.Tak peduli peluru menerjang kulitku, aku tetap meradang menerjang, luka dan bisa kubawa berlari, hingga hilang pedih peri dan aku akan lebih tidak peduli, aku mau hidup seribu tahun lagi.Sederet larik di atas, dengan kata sederhana namun memberikan energi, kekuatan bagi mereka yang mendengarnya. Dia sang penyair liar, Chairil Anwar. Kehidupannya yang amburadul, anti kemapanan tak membuatnya gerah menghadapi rumitnya pada saat ia mengangkangi bumi ini. kehidupan setiap orang memiliki warna-warni yang saling berbeda dan hal itulah yang membuat hidup ini terasa manis.Seperti kehidupan Chairil yang juga sosok manusia biasa yang ingin berteriak pada dunia, bahwa, Aku ingin bebas dari segala, Merdeka... Kendati bebas, ia lantas tak hanya berpangku tangan saja melihat situasi kondisi lingkungan dimana ia tinggal. Setiap untaian kata-kata yang keluar dari mulutnya dan goresan tinta di secarik kertas buram, mampu menelurkan sajak-sajak yang akan membuat dirinya dikenang di masa mendatang, menjadi maestro penyair terkemuka dalam kasusastraan indonesia angkatan 45.Alur cerita kehidupannya yang menceritakan dia sosok penyair fenomenal tak di dapatnya secara instant begitu saja. Meminjam kata-kata iwan fals, bukan tujuan yang dicari tapi prosesnya. Itulah yang dilakukan Chairil dalam hidupnya, meski dia mati muda. Tak habis-habis orang membicarakan karya-karyanya dan kehidupannya. Dia mampu mengubah ketakutan pada Jepang kala itu menjadi senjata untuk kreatif dalam kata-kata sajaknya.
Proses
hidup yang terus dijalani mampu memberikan cerminan realitas dirinya pada saat
itu. Hidup yang tak monoton. Berliku-liku tak mudah ditebak dan
penasaran.Proses hidupnya itulah yang membuat si penulis, Sjuman Djaya menulis
skenario tentang kisah perjalanan dan karya-karya penyair Chairil Anwar. Judul
sajaknya “AKU” telah membuat pemerintahan Jepang, kala itu sempat ketakutan
karena isi lirik-liriknya yang menimbulkan semangat pemberontakan, keberanian.
Hingga Jepang mengubah judulnya “Semangat” untuk mengaburkan sajak itu.Skenario
yang belum sempat dibuat filmnya karena keterbatasan ruang dan dokumentasi saat
itu tak membuat kesegaran isinya hancur remuk hilang bentuk. Malah sebaliknya
sederetan kata-kata dalam skenario dibawakan dengan apa adanya, menimbulkan
kebaruan.Referensi yang dicari dari mana-mana, teman sesama penyair,
keluarganya dan orang-orang yang merasa kenal dengan dirinya membuat naskah ini
kelihatan hidup dan berbobot.Buku ini memuat skenario perjalanan penyair
Chairil Anwar dari ketika dia dalam masa-masa kecilnya bersama nenek dan ibunya,
ketika beranjak menjadi pemuda liar, dan sempat angkat senjata berjuang melawan
penjajah hingga pembuktian kedewasaan melalui kisah cinta romantis bersama
wanita-wanita yang pernah hidup dengannya. Begitu juga ketika dia sesaat TBC
merenggut nyawanya.Sjuman Djaya mengambil sosok Chairil menjadi pelaku utama
dalam sandiwara ini. Dan rasa senang, sedih, angkuh dan, marah diungkapkannya
secara apik. Buku ini, lebih cocok skenario ini enak dibaca karena pilihan
diksi san kata-katanya sederhana, begitu juga sajak-sajak Chairil, sederhana
tapi tak menghilangkan makna. Lewat karya Chairil dan Sjuman Dyaya bisa
terdengar gaungnya hingga sekarang. Meski keduanya telah tiada namun
karya-karya mereka mampu kita nikmati dan rasakan. Teringat pesan dari anonim:
bahwa ter penting bukan bagaimana dia mati, namun bagaimana ketika mereka saat
hidup. Mari kita baca karya mereka dan tak lupa kita renungkan. –Salam
kebebasan. Eurekka!!Penulis : Sjuman Djaya
Penerbit : PT Metafor Intermedia Indonesia
Cetakan : II, 2003
Tebal : xii +155 hlm
Siapa yang tak kenal dia. Binatang jalang dari kumpulannya yang terbuang. Sempat terpinggirkan oleh zaman Jepang. Perang yang terus berlalu lalang tidak membuatnya gentar ataupun takut. Sosok penyair bohemian yang rindu akan kebebasan, sempat merdeka meski belenggu penjajahan mengangkang.Tak peduli peluru menerjang kulitku, aku tetap meradang menerjang, luka dan bisa kubawa berlari, hingga hilang pedih peri dan aku akan lebih tidak peduli, aku mau hidup seribu tahun lagi.Sederet larik di atas, dengan kata sederhana namun memberikan energi, kekuatan bagi mereka yang mendengarnya. Dia sang penyair liar, Chairil Anwar. Kehidupannya yang amburadul, anti kemapanan tak membuatnya gerah menghadapi rumitnya pada saat ia mengangkangi bumi ini. kehidupan setiap orang memiliki warna-warni yang saling berbeda dan hal itulah yang membuat hidup ini terasa manis.Seperti kehidupan Chairil yang juga sosok manusia biasa yang ingin berteriak pada dunia, bahwa, Aku ingin bebas dari segala, Merdeka... Kendati bebas, ia lantas tak hanya berpangku tangan saja melihat situasi kondisi lingkungan dimana ia tinggal. Setiap untaian kata-kata yang keluar dari mulutnya dan goresan tinta di secarik kertas buram, mampu menelurkan sajak-sajak yang akan membuat dirinya dikenang di masa mendatang, menjadi maestro penyair terkemuka dalam kasusastraan indonesia angkatan 45.Alur cerita kehidupannya yang menceritakan dia sosok penyair fenomenal tak di dapatnya secara instant begitu saja. Meminjam kata-kata iwan fals, bukan tujuan yang dicari tapi prosesnya. Itulah yang dilakukan Chairil dalam hidupnya, meski dia mati muda. Tak habis-habis orang membicarakan karya-karyanya dan kehidupannya. Dia mampu mengubah ketakutan pada Jepang kala itu menjadi senjata untuk kreatif dalam kata-kata sajaknya.
Comments
Post a Comment